guruenglish


PEMBELAJARAN BILINGUAL PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
21/12/2008, 02:33
Filed under: PAUD | Tags:

Latar Belakang

Satu pertanyaan yang mungkin muncul sebagai tanggapan terhadap kecenderungan pengajaran bahasa Inggris pada anak-anak adalah sebagai berikut ’Sudah perlukah bahasa Inggris diajarkan pada anak-anak?’ Pertanyaan ini nampaknya mudah diajukan. Jawaban terhadap pertanyaan ini bisa sederhana, namun bisa juga memerlukan penjelasan panjang lebar; bahkan pertanyaan yang sederhana tersebut dapat memunculkan kontroversi yang berkepanjangan. Setidaknya ada tiga alasan mengapa anak-anak perlu mempelajari bahasa Inggris pada usia dini. Alasan pertama adalah tuntutan pragmatis. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini tembok pembatas geografis antar wilayah atau bahkan antara negara sudah mulai runtuh, berguguran satu persatu akibat gelombang tsunami yang disebut globalisasi. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi nampaknya merupakan salah satu faktor yang bertanggung jawab atas semakin terbukanya hubungan antar manusia pada era global ini. Dampak yang segera kita amati dengan runtuhnya tembok pembatas tersebut ialah semakin mudah dan semakin murahnya satu individu, bahkan antar bangsa, di tempat yang berbeda dan berada di belahan dunia yang lain berhubungan dengan individu lainnya pada waktu yang sesungguhnya (real time). Salah satu implikasi globalisasi ialah munculnya berbagai peluang gobal baru (Graddol, 1997) pada satu sisi dan kompetisi dalam aspek kehidupan individu bahkan bangsa pada sisi lainnya. Artinya agar dapat berkompetisi global diperlukan sumber daya manusia yang tangguh karena kompetisi berarti akan ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah sementara disadari bahwa secara alamiah tentunya tidak ada seorang pun yang ingin menjadi pecundang. Satu piranti komunikasi yang berperan penting dan diperlukan untuk berkompetesi global adalah penguasaan bahasa Inggris. Untuk itulah penyiapan sumber daya manusia Indonesia perlu dilakukan secara dini.
Alasan lain merujuk pada alasan legal formal dan kesepakatan internasional. Undang Undang Dasar 1945 memberikan amanat kepada Pemerintah untuk ’mencerdaskan kehidupan bangsa.’ UU No, 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran guna pengembangan kepribadiannya dan kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Pada tatataran lebih operasional lagi dinyatakan bahwa bahasa Inggris dapat diajarkan di jenjang sekolah dasar pada anak-anak sabagai muatan lokal. Secara kelembagaan dengan demikian sebagai komponen bangsa pendidikan pembelajar usia dini menjadi tanggung jawab Pemerintah. Apabila ditarik lebih jauh lagi, perlunya memperhatikan masalah pendidikan anak usia dini dapat pula dirujuk pada kesepakatan dunia internasional, salah satunya misalnya pada United Nation General Assembly Special Session on Children di New York tahun 2002 yang melahirkan deklarasi berisi komitmen untuk mensejehterakan anak yang dikenal sebagai ’A World Fit for Children’ (WFC), yang salah satu butirnya adalah penyediaan pendidikan anak yang berkualitas (Kelompok Kerja Penyusunan PNBAI 2015, (2004:3).
Alasan yang ketiga adalah konspetual. Brumfit (1991:11-12) menyatakan argumentasinya terkait dengan faktor usia muda bahwa tidak ada alasan kuat dalam pembelajaran anak-anak untuk tidak mengajarkan bahasa kedua pada mereka. Setidaknya ada empat faktor yang ia rujuk yang mendasari argumentasinya tersebut. Namun, tiga faktor pertama nampaknya relevan untuk dibahas. Pertama, proses pematangan (maturation) nampaknya lebih berpihak pada pembelajar bahasa usia muda. Maksud proposisi ini ialah bahwa semakin muda seorang anak belajar bahasa, semakin mudah ia akan menguasai bahasa tersebut. Meskipun klaim ini mendapatkan sanggahan, misalnya oleh Steinberg (1993), nampaknya teori masa kritis (critical periods) semakin mendapat dukungan yang meluas. Lenneberg menyatakan bahwa hingga mendekati usia peralihan (puberty) secara fisiologis otak manusia relatif lebih ’lentur’ sehingga memberi kemudahan dan beradaptasi bagi anak dalam pemerolehan bahasa. Anak tidak perlu bersusah payah (acquire) mempelajarinya. Anak hanya ’memungut’ bahasa secara alamiah dari lingkungannya. Hal ini juga berlaku bagi pembelajar bahasa kedua apabila lingkungan memberinya peluang. Pembelajar yang mempelajari bahasa setelah masa peralihan biasanya akan menggunakan strategi pembelajaran (learn) yang berbeda yang dilakukan dengan kesadaran (conscious).
Faktor kedua yang berperan penting pada anak-anak dalam mempelajari bahasa terkait dengan emosi dan perasaan. Brown (1994:135-152) mereviu beberapa faktor yang terkait dengan faktor afektif dalam pembelajaran bahasa. Faktor-faktor tersebut adalah self-esteem, inhibition, risk-taking, anxiety, emphaty, extroversion dan motivation. Pada faktor-faktor tersebut anak-anak cenderung memiliki nilai yang lebih positif dibanding pembelajar dewasa. Misalnya, anak-anak tidak memiliki beban mental yang berlebihan saat mempelajari bahasa asing, ketakutan membuat kesalahan rendah, dan siswa memiliki keinginan yang lebih baik untuk mempelajari hal-hal baru lewat bahasa asing.
Faktor ketiga adalah lingkungan. Anak-anak cenderung memiliki peluang yang lebih baik dalam mengintegrasikan kebutuhan komunikasi yang sesungguhnya dengan pengalaman kebahasaan barunya. Maksudnya bahwa dalam usia yang ditandai dengan eksplorasi terhadap lingkungannya, anak-anak lebih memiliki peluang yang lebih baik dalam menggunakan bahasa secara alami untuk merepresentasikan pemahamannya terhadap lingkungannya. Oleh karena itu, kebutuhan berkomunikasi anak-anak dengan menggunakan bahasa dalam lingkungan sekitarnya lebih terakomodasi secara luas dan alami.
Paparan di atas memberi gambaran bahwa dari berbagai segi, nampaknya membelajarkan anak-anak dengan bahasa memiliki landasan yang ada argumentasinya. Implikasi singkatnya dapat dikatakan bahwa sebagai individu anak juga memiliki hak untuk mempelajari bahasa pertama atau bahasa lainnya sesuai dengan kebutuhan dan kodrat perkembangan kejiwaan, intelektual, dan psikomotornya. Oleh karena itu, pemenuhan hak anak-anak atas belajar bahasa termasuk bahasa asing nampaknya tidak boleh diabaikan.
Namun masih ada isu lain terkait dengan pembelajaran bahasa, utamanya bahasa asing, pada anak-anak usia dini. Pertanyaan lain yang dapat diajukan adalah apa untung ruginya? Freudenstein (1991:18-21) mengidentifikasi beberapa segi keuntungan bagi anak-anak dengan mempelajari bahasa asing. Keuntungan pertama berhubungan dengan perkembangan intelektualnya. Menurut kajian yang direviunya, anak yang mempelajari bahasa asing pada usia dini memiliki keunggulan baik dari segi kebahasaan maupun non kebahasaan. Mereka cenderung lebih memiliki keluwesan mental, keunggulan dalam pembentukan konsep-konsep atas gejala alam di sekelilingnya, dan memiliki kemampuan mental yang lebih beragam. Ini berarti bahwa dengan belajar bahasa asing lebih awal anak lebih mengenal dunia yang lebih luas dan memiliki kemampuan konseptual dalam memaknai lingkungan sekitarnya melalui bahasa. Dengan kata lain stimulasi awal pada usia perkembangan anak melalui pembelajaran bahasa akan memberikan keuntungan dalam perkembangan bernalarnya. Selain itu, anak juga akan lebih diuntungkan dengan adanya kesadaran sistem bahasa sebagai suatu gejala sosial. Ia akan lebih mampu memahami sistem bahasa ibunya. Keuntungan ini menepis kekhawatiran akan terganggunya penguasaan anak-anak terhadap bahasa ibu mereka dengan diperkenalkannya bahasa asing. Berdasarkan kajian yang direviunya, banyak bukti yang menunjukkan bahwa anak yang menguasai lebih dari satu bahasa tidak akan mengalami gangguan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ketiga, anak-anak yang belajar bahasa asing lebih awal akan diuntungkan dari segi pemahaman budayanya. Ia akan memiliki pandangan budaya yang lebih luas, dan ini menguntungkan karena ia akan mampu mengembangkan sikap toleransi terhadap budaya lain yang berbeda. Namun semua nilai budaya positif ini hanya akan dapat dicapai bila lingkungan pembelajaran bahasa asing yang dialami anak benar-benar mendukung terhadap pencapaian hasil belajar yang optimal, misalnya penggunaan media pembelajaran yang tepat, pemilihan metode pembelajaran yang sesuai, penyajian materi yang menyenangkan, dan keterlibatan guru yang benar-benar memiliki kompetensi mengajar bahasa untuk anak-anak yang memadai. Bila kondisi tersebut tidak dapat terpenuhi dengan baik, harga yang dibayar dikemudian hari dengan pengenalan bahasa asing pada anak-anak akan menjadi mahal, misalnya sikap yang salah terhadap bahasa asing. Selain berdampak negatif terdahap perkembangan personalnya, situasi pembelajaran bahasa asing pada anak usia dini yang tidak menguntungkan juga berpotensi menghambat pengajaran bahasa asing pada tahap-tahap selanjutnya.
Selain segi positif dengan pembelajaran bahasa asing pada anak-anak, ada beberapa tantangan yang nampaknya perlu diwaspadai. Pertama adalah masalah keberlanjutan, utamanya pada saat alih jenjang pendidikan yaitu dari kelompok bermain atau taman kanak-kanak ke sekolah dasar, dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama. Aspek keberlanjutan ini dapat terkait dengan materi pembelajaran maupun dengan dampak penggunaan strategi penyajian materi. Pemetaan materi pembelajaran nampaknya perlu dilakukan dengan cermat sehingga pengulangan-pengulangan yang tidak perlu dapat dihindari. Demikian juga keseimbangan strategi penyajian materi yang tepat perlu diperhitungkan pada jenjang yang berbeda. Tidak terpenuhinya kondisi tersebut berpotensi menurunkan minat dan motivasi belajar siswa pada jenjang berikutnya. Tantangan lain ialah bahwa muatan kurikulum akan menjadi bertambah yang berarti bahwa beban belajar siswa menjadi bertambah demikian pula beban mengajar guru, khususnya untuk guru kelas. Apabila memang bahasa asing akan diperkenalkan kepada anak-anak usia dini, kesan bahwa pelajaran bahasa Inggris sebagai sekedar tambahan terhadap matapelajaran inti, atau adanya motivasi yang lain seperti keperluan promosi, sejauh mungkin diminimalkan. Ada cara yang lebih metodologis untuk mengatasi tantangan terkait dengan membengkaknya kurikulum ini, yaitu misalnya mengintegrasikan pengajaran bahasa Inggris dengan bidang studi, seperti yang akan dipaparkan ditulisan ini.
Perhitungan untuk rugi memang perlu dilakukan dalam konteks pembelajaran bahasa asing pada pendidikan anak usia dini. Namun nampaknya kecenderungan akan berpihak pada segi keuntungannya. Artinya, dampak dan kemungkinan negatif pembelajaran bahasa asing pada pendidikan anak usia dini perlu diantisipasi, dan dicarikan solusinya secara tepat. Lebih dari itu, dinamika globalisasi ke depan nampaknya akan lebih intensif lagi dan ini hanyalah masalah waktu. Implikasinya ialah bahwa pemberian bekal yang memadai pada anak didik oleh karena itu perlu dilakukan sejak mulai usia dini. Dan ini nampaknya sejalan dengan program pembangunan pendidikan nasional yang dikembangkan melalui Departemen Pendidikan Nasional yang merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009. Salah satu dari lima belas program Pemerintah adalah Pendidikan Anak Usia Dini (Depdiknas 2007:6).
Tulisan ini akan menawarkan apa dan bagaimananya pembelajaran bilingual pada pendidikan anak usia dini melalui paparan dari sudut teori dan kemungkinan implementasinya. Paparan disajikan dalam tingkatan konsep. Implementasinya memerlukan pembahasan yang lebih operasional. Untuk itu, beberapa sub topik akan disajikan dengan urutan sebagai berikut: Usia Dini dan Pendidikan Anak Usia Dini, Karakteristik Pembelajar Usia Dini, Perkembangan Pembelajaran Anak, Perkembangan Bahasa Pembelajar Usia Dini, Pembelajaran Bilingual: Apa dan Bagaimana?, dan Pembelajaran Anak melalui Pembelajaran Bilingual. Tulisan ini ditutup dengan kesimpulan dan saran. Berikut adalah pembahasan masing-masing topik.


Leave a Comment so far
Leave a comment



Leave a comment